Selasa, 24 Mei 2011

Museum Ludruk Karya Budaya, Mimpi Cak Edy Karya

Cak Edy Karya

Marsudiyo wong cilik biso gumuyu
(Kami berupaya membuat orang kecil bisa tersenyum).
Nafas saya adalah nafas ludruk,  darah saya mengalir darah ludruk.
      - Cak Edy Karya -

Begitu indah filosofi Eko Edi Susanto di atas yang ia jalani bertahun-tahuin, yang selalu berbagi kebahagiaan dengan sesama. Dia yang akrab dipanggil Cak Edy  Karya (53 tahun), adalah seorang ketua dan pengelola Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, Jawa Timur dan mempunyai mimpi mendirikan Museum Ludruk Karya. Ia berharap ada seseorang atau lembaga yang merespon mewujudkan mimpinya mendirikan Museum Ludruk Karya Budaya.




Tidak mudah mengelola suatu grup teater tradisional di masa kini. Butuh ketekunan, kesabaran dan kerja keras untuk mempertahankan  pusaka tak teraga Indonesia (Indonesian intangible heritage). Tidak mudah juga dalam mendanai keberlangsungan hidup grup ludruk, baik untuk keperluan pentas dan menjadikan ludruk sebagai sumber utama rejeki anggotanya dalam kehidupan sehari-hari. Dan sedikit orang seperti Cak Edy Karya yang punya mimpi dan niat mulia mendirikan museum ludruk. 

Saya teringat grup ketoprak tobong yang teknik teatrikalnya modern yaitu,  Ketoprak Siswo Budoyo, Tulunggung, yang hidupnya dengan berpentas keliling dari kota ke kota untuk mencari dan mempertahankan  sumber kehidupannya (1970-1990-an). Pada tahun 1990 income grup ini sudah impas dan tahun berikutnya merugi. Setelah Ki Siswondo HS meninggal, grup ini sudah tidak aktif lagi. Menurut Ki Siswondo HS pada tahun 1990, menurunnya penonton ketoprak karena pengaruh perkembangan media audio-visual yang begitu pesat – TV dan banyak beredarnya VCD. 

Selaras dengan pendapat Ki Siswondo HS, menurut Cak Edy Karya, lebih mudah mengelola ludruk pada tahun 1970, karena persaingan hiburan utamanya dengan media TV masih belum marak, sehingga ludruk masih dipenuhi banyak penonton.

Pada tahun 1970 jumlah grup ludruk yang tersebar di daerah Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya dan Malang sekitar 70 grup. Pada tahun tersebut paguyuban ludruk masih banyak dibina oleh kesatuan ABRI dan ludruk banyak menjadi corong pemerintah (menerangkan Repelita, KB, Bimas dan lain-lain) sehingga sedikit ada perhatian dari pemerintah. Sedangkan ludruk tahun 1990-an bersaing ketat dg TV utamanya TV swasta yang menawarkan alternatif hiburan lebih menarik yang membuat orang enggan datang ke tobong ludruk. “Hal tersebut membuat ludruk menjadi collapse,  hanya menunggu pesanan dari orang hajatan saja. Di samping itu perhatian dari pemerintah hampir tidak ada sama sekali,” papar Cak Edy Karya.


Memang sampai detik ini, kesenian tradisi  di Indonesia tidak bisa bergantung pada pemerintah. Pemerintah tidak pernah serius untuk melestarikan seni tradisi dan tidak pernah berpikir bagaimana strategi pelestarian seni tradisi kini dan di masa depan. Kesenian tradisi masih diperlakukan seperti ‘pakaian’, kalau butuh dipakai, kalau tidak butuh ya tidak perlu dipakai.

Ludruk Karya Budaya
Ludruk Karya Budaya didirikan pada  29 Mei 1969 oleh Cak Bantoe Karya seorang anggota Polsek Jetis. Niat pendirian ludruk tersebut atas saran para tokoh masyarakat di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.  Desa Canggu memang situs desa seni ludruk, di desa ini  sejak turun-temurun selalu ada paguyuban ludruk. Grup ludruk yang terakhir berdiri adalah Ludruk Kartika Sakti yang dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1965 karena dianggap Lekra.
Cak Bantoe Karya adalah ayah dari Eko Edi Susanto (Cak Edy Karya). Sejak tahun 1993, Cak Edy Karya menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Ludruk Karya Budaya. Sejak kecil ia selalu mengikuti dan melihat setiap kegiatan ludruk Karya Budaya. “Nafas saya adalah nafas ludruk,  darah saya mengalir darah ludruk,” imbuhnya.

Yang paling membuat ia tertarik rata-rata paguyuban ludruk tidak memiliki tenaga intelektual yang membantu pemikiran untuk pengembangan ludruk. Oleh karena itu di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai negeri sipil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mojokerto dan mengelola grup ludruknya, Cak Edy Karya juga dibantu oleh isterinya dan anaknya yang nomor dua. Ia berharap anaknya yang nomor bisa melanjutkan mengelola ludruk. Ia terus berusaha meningkatkan SDM, mendidik kaderisasi dan memutakhirkan diri demi plestarian ludruk di masa depan.

Saat ini jumlah anggota ludruk Karya Budaya sebanyak 69 orang. Para anggota ludruk mempunyai mata pencaharian yang beragam, ada  yang buruh tani, pengelola warung, penjual rokok, pekerja di salon, penjahit, pedagang kaki lima dan lain-lain. Mereka bermain ludruk sebagai penyaluran hobi dank arena kecintaan untuk  melestarikan seni tradisi saja. Dalam diri mereka memang mengalir bakat atau darah ludruk.
Menurut Cak Edy Karya, kalau Kalau dirata-rata setiap tahun jumlah tanggapan Karya Budaya sekitar 150 job. Sekarang sudah berdiri selama 42 tahun, jadi bisa diperkirakan 6.000 kali, belum termasuk pentas saat masih nobong dahulu. Cerita-cerita yang dipentaskan bertema religi, sejarah, cerita rakyat, legenda dan lain-lain. 

Setelah mementaskan lakon ‘Juragan Dhemit’ pada 15 Mei 2011 lalu , di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, paada  29 Mei 2011 nanti,  ludruk Karya Budaya akan merayakan HUT yang ke-42 di PAdepokan Pondok Jula Juli, Dusun Sukodono, Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto dengan acara:
Pagi: sunatan massal. Siang: reyog. Sore: bantengan. Malam: parade lawak Jatim, pentas ludruk RRI, Marsudi Laras, Srimulat, Galajapo (terbuka untuk umum).
Semoga ludruk Karya Budaya tetap lestari dan segera punya museum! (apw)


2 komentar:

  1. makasih gan sharenya,... ini juga mau ngerjakan tugas,..

    tuker link gan, http://javanesser.blogspot.com

    BalasHapus