Minggu, 12 Juni 2011

Barata Sena: Copyright atau Copyleft?

simbol copyleft

simbol copyright

Karena ide saya sesungguhnya hanya satu persen
dari sebuah karya, saya malu mematenkannya. (Barata Sena)


‘Semua karya adalah kolaborasi. Tidak ada karya yang benar-benar tunggal. Seorang pelukis. Seorang pelukis akan melukis, tetapi cat warna tetap dibuat orang lain, kuasnya dibuat orang lain, kain kanvasnya dibuat orang lain, dan sebagainya. Tanpa kontribusi dari yang lainnya apa yang akan dia lukis? Di mana dia bisa melukis? Sembilan puluh sembilan persen pemberi kontribusi karya kita tidak pernah mengklaim dan mematenkan jasanya. “Hahaha betapa bodohnya aku kalau aku hanya memberi satu persen tetapi mengklaim seratus persen.”


Penyataan Barata Sena di atas dalam tulisannya bersama Bulan Sorbadjati berjudul  ‘Jalan Kayu, Proses Itulah Karya’ seolah-olah Barata Sena menegaskan bagaimana proses kreatif penciptaan nenek moyang bangsa Indonesia di masa lampau yang lebih mengutamakan value dan kepentingan masyarakat banyak. Berkarya sekaligus membahagiakan banyak orang.

Semenjak saya mengenal Barata Sena sejak tahun 1999, saya berusaha mengenali lapisan kreatif Barata Sena dan eksistensinya ketika ia meminta saya untuk menulis untuk pameran tunggal keduanya ini. Dalam kesempatan ini, saya mencoba memahami pernyataan Barata sena di atas dari sudut pandang subyektif saya dalam pemahaman copyright dan copyleft.

Di saat banyak para seniman, pekerja kreatif dan kaum ilmuwan di Indonesia berbondong-bondong masuk domain copyright, justru Barata Sena merasa tidak terbebani sedikit pun dengan persoalan copyright.

Pernyataan Barata Sena seolah-olah ‘anti-hak cipta (anti-copyright’), yang saat ini menjadi isu sensitif di belahan dunia ini. Padahal Barata Sena sendiri menyatakan kepada saya bahwa dia juga sangat menghormati keberadaan copyright, yang telah menjadi bagian interaksi global dalam penciptaan dan penghargaan  karya. Semua negara sudah mengadopsi peraturan copyright sesuai dengan kondisi negaranya.  

Hal di atas itulah yang membuat saya tergelitik untuk bisa lebih memahami eksistensi Barata Sena dalam sikap kekaryaan sebagai kreator. Bahkan dia secara terbuka akan mengajari kepada siapapun yang ingin belajar tentang wooden artwork kepadanya. Dia tak takut desainnya ditiru oleh orang lain. Makin banyak orang yang meniru desainnya, Barata Sena makin bahagia karena bisa berbagai kebahagiaan dengan orang lain,” ungkapnya.

Mungkin pernyaataan dan sikap Barata Sena di atas akan menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Apalagi kalau hal itu menjadi ‘virus’, mempengaruhi para kreator lainnya untuk bersikap ‘tidak peduli dengan copyright’.   Bukankah isu copyright ini sekarang menjadi sesuatu yang ramai diperdebatkan dan bisa menjadi sinisme bagi antarindividu, antarmasyarakat, dan antarbangsa.

Sejarah copyright yang berawal penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg (1440) dan industri penerbitan buku di Inggris pada awal abad 15 bermotivasi bagaimana perusahaan penerbitan buku dan penulis mendapat keuntungan ekonomi yang layak dan tetap menghargai hak moral sang penulis. Namun dalam perjalanan sejarah copyright sampai detik ini, yang beruntung masih perusahaan-perusahaan besar. Dengan kata lain publisher (pemegang lisensi) yang lebih diuntungkan daripada penulis/pencipta.

Apalagi lagi jika persoalan copyright memasuki domain kebudayaan, isunya menjadi makin sensitif. Masih ingatkah bagaimana persoalan copyright membuat hubungan Indonesia-Malaysia menjadi tegang dalam kasus tari pedet, angklung, tari reog, yang diklaim oleh Malaysia? Perusahaan Adidas yang mengambil motif batik Indonesia, pentas I La Galigo yang disutradari Robert Wilson (sutradara teater kontemporer terkenal dari Amerika Serikat), suku Aborigin yang mengklaim gambar kangguru di logo perusahaan penerbangan Qantas Australia adalah milik suku Aborigin, dan lain-lain. Lantas, apakah kebudayaan bisa di-copyright-kan? Suatu perdebatan yang belum selesai sampai saat ini.

Barata Sena

Copyright (hak cipta)

Sejarah lahirnya copyright gara-gara penemuan teknologi mesin cetak, namun akan menjadi persoalan rumit jikalau sudah memasuki domain kebudayaan. Karena kebudayaan itu bersifat menyebar dan saling mempengaruhi.

Hak Cipta (copyright) lahir dari rezim Intellectual Property Rights, dengan logo huruf C dalam lingkaran ©. Tujuan dibentuknya ketentuan yang mengatur tentang hak cipta adalah memberikan perlindungan terhadap ciptaan untuk mendorong aktivitas dan kreativitas para pencipta. Ketentuan perlindungan terhadap hak cipta tidak memungkinkan pihak lain untuk dapat mengumumkan/memperbanyak suatu ciptaan tanpa izin pencipta adalah perbuatan melawan hukum. Adanya perlindungan terhadap hak cipta menjadi pencerahan bagi para pencipta, sehingga dapat memberikan motivasi bagi mereka untuk berkarya.
 wooden bra

 Hak cipta terdiri atas hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta/pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus  tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Hak moral dalam hak cipta berupa hak bagi pencipta untuk dicantumkan namanya pada hasil karya ciptaannya dan hak untuk dijamin keutuhan karya ciptanya. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat.

Di sisi lain tujuan mulia dari copyright ini juga mempunyai dampak negatif. Dampak negatif dari copyright kini bisa  dirasakan oleh sebagian masyarakat AS, makin mahalnya biaya kesehatan, bertambah banyaknya problem-problem kesehatan, bertambahnya kebodohan, meningkatnya jurang perbedaan upah, bertambahnya rasa apatis terhadap proses demokrasi, bertambahnya kekuasaan pemerintah, di bagian dunia lain semakin bertambahnya berbagai macam penyakit, dan lain-lain.

Tidak aneh  jika maraknya pembajakan software komputer di Indonesia disebabkan mahalnya harga software komputer aslinya sebagai konsekuensi logis penerapan aturan hak cipta. Akan cukup mahal biaya pendidikan di Indonesia jika aturan hak cipta benar-benar diberlakukan. Tidak hanya itu, meningkatkan kecerdasan anak bangsa juga akan tertinggal. Di sisi lain, SDM bangsa Indonesia juga harus berkompetisi dengan negara-negara lain. Di sini saya tidak bermaksud mendorong adanya pelanggaran hak cipta. Bagaimana pun bangsa Indonesia juga harus menerapkan dan mematuhi peraturan hak cipta berdasarkan Konvensi Bern dan  Undang-Undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Aturan hak cipta tetap harus  kita apresiasi dan hormati sebagai bagian dari pergaulan internasional. Namun kritik yang sering muncul terhadap copyright adalah (1) bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas;  (2) hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi baru.

Copyleft

Di Amerika Serikat sendiri sudah merasakan dampak dari copyright (All Rights Reserved) , lalu muncullah copyleft, sebagai reaksi terhadap pemberlakuan copyright. Copyleft (All Rites Reversed) yang digagas oleh Richard Stallman  pada 1985. Masyarakat AS ingin mempunya altenatif pilihan selain copyright. Kalau copyright berasal dari turunan rezim Intellectual Property Right, sedangkan copyleft berasal dari turunan rezim  Intellectial Property Freedom. Adapun logo copyleft adalah huruf C yang dibalik, ditempatkan dalam lingkaran .

Copyleft adalah permainan kata dari copyright (hak cipta) yang sebagaimana berlawanannya makna yang dikandung masing-masing istilah (right vs left), begitupun berlawanannya arti dari kedua istilah tersebut dimana copyleft merupakan praktek penggunaan undang-undang hak cipta untuk meniadakan larangan dalam mendistribusikan salinan dan versi yang telah dimodifikasi dari suatu karya kepada orang lain dan mengharuskan kebebasan yang sama diterapkan dalam versi-versi selanjutnya di masa yang akan datang. Copyleft diterapkan pada hasil karya seperti, perangkat lunak, dokumen, musik, dan seni.

Jika hak cipta dianggap sebagai suatu cara untuk membatasi hak untuk membuat dan mendistribusikan kembali salinan suatu karya, maka lisensi copyleft menggunakan hukum hak cipta untuk memastikan bahwa semua orang yang menerima salinan atau versi turunan dari suatu karya dapat menggunakan, memodifikasi, dan juga mendistribusikan ulang baik karya, maupun versi turunannya. Dalam pengertian awam, copyleft adalah lawan dari hak cipta. Adapun contoh lisensi copyleft bisa dilihat di General Public License http://www.gnu.org dan Creative Commons http://creativecommons.org. Dengan kata lain, copyleft masih menggunakan perangkat hukum copyright dalam penerapan copyleft.

Copyleft lebih mementingkan nilai dan keutamaan masyarakat daripada keuntungan ekonomi. Jadi kalau seseorang menggunakan lisensi copyleft pada karya-karyanya, jangan berharap keuntungan ekonomi yang besar, yang berbanding terbalik copyright. Kini masyarakat dunia punya pilihan alternatif dalam berkarya. Ingin berada pada jalur copyright atau copyleft bergantung  masing-masing  individu atau kelompok.

Spirit Empu Masa Lampau

Ciptaan dan karya-karya besar bangsa Indonesia di masa lampau, seperti candi, batik, wayang, dan gamelan dan sebagainya, hampir t anonim. Filsafat dibalik penciptaan itu adalah nilai dan manfaat karya bagi masyarakat lebih penting daripada sebuah nama atau siapa pembuatnya. Dalam tradisi Indonesia kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu. Kepentingan individu tidak diagung-agungkan. Oleh karena itu suasana transendental-kolektif lebih masih kuat di Indonesia.
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya ‘Aspek Sosio-Kultural dalam Pemajuan HAKI (2000), ketentuan hak cipta internasional  yang telah diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan hak cipta Indonesia tidak seluruhnya selaras dengan filsafat, tradisi dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.Namun kita menyadari bahwa kita sudah tidak hidup di masa lampau, dan Indonesia harus menerima dan menghadapi rezim copyright.
Kembali kepada Barata Sena, dari tulisannya di ‘Jalan Kayu, Proses Itulah Karya’, Barata Sena menyatakan  ingin mengusung spirit keempuan nenek moyang bangsa Indonesia dulu dalam berkarya. Barata Sena telah  menempatkan dirinya sebagai domain open source – secara terbuka menyatakan siapa saja bisa belajar darinya dan berbagi kebahagiaan bersama. Barata Sena tidak berada pada jalur copyright maupun copyleft. Karena copyleft pun masih menggunakan instrumen copyright. Barata Sena berada di jalur pilihan personalnya sebagai kreator dengan spirit kreativitas penciptaan masa lalu yang hidup di masa sekarang, berkarya dan hidup dengan hati, yang siap dengan risiko-risikonya. Biarkan waktu yang mengujinya. Toh, Barata Sena selalu berguru pada semesta dan selalu berpijak pada penghayatan hakikat perubahan-perubahan dalam kehidupan. 

*****
Tulisan ini saya buat menjelang pameran tunggalnya di Balai Soedjatmoko Solo, 18-30 Mei 2011, untuk memahami eksistensi Barata Sena.  

Referensi:
  1. http://www.gnu.org
  2. http://creativecommons.org
  3. http://wikipedia.org
  4. Satjipto Rahardjo, ‘Aspek Sosio-Kultural dalam Pemajuan HAKI (2000).
  5. Brendan Scott, “Copyright in Frictionless World”, First Monday, volume 6, number 9 (September 2001).
  6. Barata Sena dan Bulan Sorbadjati, ‘Jalan Kayu, Proses Itulah Karya’ (2011).
  7. Hasil wawancara dengan Barata Sena.
  8. Foto oleh  FD. Sukhmana.

1 komentar: