Hilangnya bahasa ibu juga berarti hilangnya masa depan kebudayaan dan rasa menjadi bagian dari suatu masyarakat. (Romo Chr. Aria Prabantara)
Bahasa daerah adalah salah satu warisan budaya nonbenda (intangible heritage) bangsa Indonesia yang mengandung peristiwa historis dan kultural di balik makna-maknanya. Menurut Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Junus Satrio Atmojo (9/1/2010), sudah sekitar 15 bahasa daerah yang sudah punah. Dan menurut Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (13/6/2010), ada sekitar 169 bahasa daerah yang kini terancam punah.Indonesia sekarang terdiri dari 33 provinsi, mempunyai 17.504 buah. pulau dan 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Terdapat 1.128 suku bangsa dan 750 bahasa daerah. Alangkah indahnya keberagaman seni dan tradisi Indonesia. Ribuan sumber mata air tradisi telah mengilhami nasionalisme keindonesiaan founding fathers negeri ini.
Ada suatu realitas tarik-menarik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam proses pendidikan di daerah-daerah luar Jawa. Romo Chr. Aria Prabantara, SJ, yang pernah menjadi guru di di SMA Adhi Luhur di Papua menyatakan bahwa seorang siswa Papua harus bekerja keras untuk bisa memahami bahasa Indonesia agar memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru penutur bahasa Indonesia.‘Ada seorang siswa sekolah dasar Papua dari suku Mee, Nabire, Papua, ia tidak hanya belajar keras dalam bahasa Indonesia, namun ia juga harus belajar bahasa daerah Papua lainnya jika ia melanjutkan sekolah menengah pertama (SMP) ke desa lain di sekitarnya. Karena terdapat beberapa sub-suku Mee. Selain itu, ia harus belajar bahasa Inggris juga.’
‘Seorang siswa lain dari suku Mee bernama Siprianus Bunay, mengatakan tidak mengertia bahasa Indonesia ketika di tingkat sekolah dasar. Ia hanya mengingat dan menghafalkan apa yang diucapkan guru penutur bahasa Indonesia. Ketika pelajaran usai, ia hanya mengingat apa yang ia dengar dari gurunya, lalu mengulanginya berkali-kali kalimat-kalimat bahasa Indonesia itu. Bahkan kadang-kadang ia mengucapkannya berkali-kali di hutan dengan suara keras. Ketika ia diuji dalam bahasa Indonesia, ia masih tak bisa menjawabnya. Mungkin ia masih tak mengerti apa yang ia tulis.”
Cerita pengalaman Romo Aria di atas, membuat Romo Aria berpikir apakah perlu menggunakan bahasa daerah Papua untuk mengajar? Itu mungkin akan menolong mereka daripada langsung mengajar dengan bahasa Indonesia. Di Papua saja menurut penelitian SIL (Summer Institute of Linguistic) terdapat 250 jenis bahasa daerah Papua.
Persoalan linguistik
Para guru di Papua kebanyakan berasal dari Jawa, Sulawesi, Ambon dan pulau-pulau sekitar Papua. Mereka tidak menguasa bahasa Papua. Andaikan mereka menguasai bahasa Papua, tentu proses belajar-mengajar akan optimal. Tidak mudah bagi guru-guru nonpapua untuk menguasai bahasa daerah Papua mengingat terdapat 250 bahasa daerah Papua. Bahkan menurut Romo Aria, hampir tidak ada guru nonpapua yang menguasai bahasa daerah. Guru-guru nonpapua di pedalaman sungguh merasakan hal ini. Akibatnya banyak anak Papua yang tidak mengetahui tentang pelajaran yang diberikan. Mereka tidak bisa membaca dan menulis dengan lancar. Tapi uniknya, ketika anak-anak Papua disuruh membaca bahasa mereka sendiri dalam bentuk tulisan, banyak dari mereka tidak lancar ketika membacanya. Dengan kata lain, persoalan linguisitik menjadi kendala utama dalam sistem pendidikan di Papua.
Pengalaman menarik
”Anak-anak Papua itu sangat haus akan pengetahuan, akan pendidikan yang baik. Namun karena pondasi pendidikan mereka tidak beres (SD dan SMP) maka merekapun mengalami kesulitan. Semangat itulah yang membuat saya merasa "jatuh cinta" pada mereka. Ada dua hal yang masih membuat saya penasaran. Pertama, budaya Papua masih kental dengan budaya melihat dan mendengar. Maka pertanyaannya mungkinkah mengajar dengan lebih banyak menggunakan metode audio visual bisa menjadi salah satu solusi mengajar? Kedua, itu tadi, menggunakan bahasa ibu pada saat mereka duduk di Sekolah Dasar,” ungkap Romo Aria.
Cukup menarik tawaran ide Romo Aria di atas, mengingat begitu luas wilayah Indonesia dan begitu banyak ragam bahasa daerahnya. Sudah waktunya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengevaluasi kembali sistem dan model kurikulum pengajaran yang berbasis bahasa daerah sekaligus sebagai upaya pelestarian bahasa daerah dalam rajutan spirit keindonesiaan. ”Tapi menurut teorinya demikian bahwa anak-anak usia SD akan lebih baik bila diberi pelajaran dengan menggunakan bahasa ibunya, bahasa daerah. Teori ini dikeluarkan oleh para ahli maka kiranya bisa menjadi rujukan yang resmi,” tambah Romo Aria.Tentu dengan melibatkan ahli linguistik dan pakar heritage Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan survei dan riset yang mendalam di Tanah Papua.
Namun apakah Depdiknas punya kemauan melakukan hal itu? Kalau tidak, globalisasi tak akan menyisakan sama sekali warisan bahasa daerah peninggalan leluhur bangsa Indonesia di masa depan.
Belajar dari Pulangiyen
Dari pengalamannya di Tanah Papua, Romo Aria melakukan kunjungan ke Apu Palamguwan Cultural Education Center (APC: www.apc.essc.org.ph) di Bendum, Provinsi Bukidnon, Filipina, 2-18 Februari 2011, dengan misi utama, mengenal penggunaan bahasa ibu di sekolah dasar bagi penduduk asli. APC merupakan lembaga pendidikan yang menerapkan metode pendidikan multibahasa (Mutilingual Education/MLE).
Lembaga sekolah ini muncul dari masyarakat sendiri, bukan dari orang luar. Ada LSM yang dengan gigih membantu mereka. Selain itu, pemerintah Filipina cukup kooperatif, dengan diberikannya akreditasi bagi sekolah ini, sehingga lulusan sekolah ini setara dengan sekolah lain. Yang luar biasa, sudah banyak guru-guru yang lahir dari suku tersebut, sehingga kelangsungan pendidikan bisa dijamin. Juga banyaknya kaum muda yang mau menjadi rekan kerja LSM ini, antara lain Jesuit Volunteer of Philippine.
Di sekolah ini para siswa mempelajari empat bahasa – Pulangiyen (bahasa ibu), Visayan (bahasa daerah yang digunakan di Mindanao dan Visayas), Tagalog dan bahasa Inggris (bahasa nasional Filipina). Para guru di APC begitu konsisten, kalau mata pelajaran diajarkan dengan bahasa Pulangiyen, siswa tidak boleh menggunakan kosa-kata bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Kadang-kadang guru juga tak konsisten jika ada kosa-kata dalam sains yang tak ada pilihan katanya dalam bahasa Pulangiyen. Dengan sistem pendidikan MLE para siswa bisa berbahasa lokal dan bahasa Inggris dengan baik. Untuk kondisi di Jawa saja, berapa jumlah anak yang menguasai bahasa Jawa baik secara linguistik dan kultural, tentu sudah bisa dikatakan semakin tahun semakin menurun.
Mempelajari bahasa Pulangiyen saja tidak cukup. Para siswa juga mempelajari kebudayaan Pulangiyen seperti tari, folklore, struktur komunitas, sistem sosial komunitas dan lain-lain. Jadi secara lingustik dan kultural dengan sistem MLE sudah melakukan langkah pelestarian bahasa Pulangiyen. Tidak hanya belajar mengungkapkan atau menerjemahkan kata per kata, melainkan juga menghidupkan kebudayaan.
Sudah saatnya sekarang sistem pendidikan di negeri ini mencari model kurikulum yang sekaligus menjadi jalan pelestarian bahasa daerah, yang berdampingan dengan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi pemersatu bangsa. Mungkin sistem pendidikan MLE yang diterapkan di APC bisa menjadi inspirasi untuk perubahan sistem kurikulum pendidikan di daerah-daerah terpencil.pedalaman Indonesia seperti di Papua.
Bahasa Indonesia sebagai jembatan komunikasi dengan kebudayaan-kebudayaan lokal. Namun jangan sampai bahasa Indonesia menjadi sarana menghanguskan kekayaan ragam bahasa ibu (bahasa daerah) negeri ini. ”Hilangnya bahasa ibu juga berarti hilangnya masa depan kebudayaan dan rasa menjadi bagian dari suatu masyarakat,” kata Romo Aria. Yang tersisa, hanyalah kebudayaan tanpa identitas.(apw)
*****
Photo source: https://rob13y.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar