Benteng Liya Togo
Pulau Wangi-Wangi
(Totom)
Indonesia terus membenahi warisan budayanya. Setelah Wayang diumumkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tidak benda pada 7 November 2003, Keris pada 25 September 2005, Batik pada 2 Oktober 2009, dan Angklung pada 18 November 2010, dan berikutnya Tari Saman akan diumumkan pada 19 November 2011. Kini menyusul Benteng Liya Togo, warisan budaya benda (tangible heritage) diusulkan menjadi cagar budaya dunia (World Heritage) oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) RI.
Benteng Liya Togo yang terletak di Desa Liya Raya, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara memiliki 92 situs benda cagar budaya benda yang tersebar di 12 Kabupaten/Kota. Benteng Liya Togo adalah sebuah benteng bersejarah yang dibuat pada masa kejayaan Kesultanan Buton pada abad ke-16 dan 17 Masehi, Bahkan ada pendapat yang menyatakan benteng ini sudah dibangun sebelum Kesultanan Buton berdiri, yakni sekitar abad ke-13 oleh raja pertama Liya yang merupakan keturunan Wangsa Rajasa di Kediri di Pulau Jawa.
Benteng Liya Togo merupakan salah satu benteng yang menjadi pusat penyebaran Islam. Itu ditandai dengan adanya bangunan masjid yang diyakini dibangun pada abad ke-16 Masehi. Di dalam benteng itu terdapat benda dan bangunan bersejarah, seperti meriam peninggalam kerajaan dan gedung pertemuan yang kondisinya sudah lapuk dan karatan termakan usia.
Kondisi benteng
Kondisi benteng
Dalam beberapa tahun terakhir benteng ini kondisinya terbengkalai. Di berbagai bagian benteng itu telah mengalami kerusakan parah akibat termakan usia. Dengan kondisi seperti itu, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Tawakal di Kendari, menyatakan pada situs kompas.com (2/7/2011), bahwa kini Benteng Liya Togo dalam proses pemugaran dengan menggunakan dana Kemenbudpar senilai Rp 1,5 miliar.
Pada catatan Totom di Facebook (2/3/2011), Benteng Liya Togo
Selanjutnyanya menurut Andi Syahrir, salah satu keunggulan benteng ini adalah terbuat dari batu alam (tanpa perekat semen) dengan tinggi mencapai tiga meter, keliling 16 kilometer, dan luas 30 hektare. Sayangnya, ketika pendudukan Jepang tahun 1942-1945, tentara Nippon memerintahkan pembongkaran benteng dan materialnya untuk digunakan sebagai fondasi jalan dan dermaga. Akibatnya, tinggi benteng saat ini hanya tersisa sekitar satu meter.
Semoga kita makin peduli pada kekayaan warisan budaya Indonesia. (apw)
*****
Photo source: http://www.antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar