Dhian Lestari Hastuti |
Bonggan kang tan merlokena, mungguh ugering ngaurip, uripe lan tri prakara, wirya arta triwinasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara. (Mangkunegara IV dalam serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke-29).
Inti dari ajaran tersebut adalah untuk mencapai derajat atau status sosial, dapat melalui wirya atau jabatan, Jika jabatan tidak dimilki, status sosial dapat dicapai melalui arta atau uang dan kekayaan. Namun jika wirya dan arta tidak dimiliki, status sosial dapat melalui winasis atau pendidikan dan pengetahuan. Jika ketiganya tidak dimiliki maka hidupnya seperti daun jati kering yang tidak berguna dan nasibnya tidak jelas.
Spirit ajaran Mangkunegaran IV di atas merupakan landasan para saudagar batik Laweyan dalam membangun rumahnya untuk meraih status yang yang sejajar dengan bangsawan pribumi.
Siapa yang tak mengenal Kampung Batik Laweyan jika anda berkunjung ke Kota Solo? Pasti hamper semua pengunjung Kota Solo mengenalnya selain Kampung Batik Kauman.
Untuk mengenal lebih dekat Kampung Batik Laweyan. Sangat menarik berbincang dengan Dhian Lestari Hastuti, S.Sn, M/Sn. yang akrab dipanggil mbak Dhian. Ia seorang dosen desain interior di Insitut Seni Indonesia (ISI, Surakarta), peneliti, dan aktivis heritage di Kota Solo tentang tesis S2-nya yang berjudul ‘Interior Dalem pada Rumah Saudagar Batik Laweyan di Awal Abad ke-20, Kajian Estetika’.
Ia mengatakan bahwa latar belakang mengambil judul tersebut, karena ndalem di rumah saudagar Laweyan di awal abad ke-20 merupakan satu dari sekian identitas diri sebagai masyarakat termarjinal secara sosial budaya. Nilai filsafat keindahan rumah, khususnya ndalem bagi saudagar batik Laweyan merupakan makna hidup yang mereka yakini.
“Ya saya merujuk pada arsitektur Jawa. Interior ndalem adalah bagian dari pola organisasi/tata ruang arsitektur Jawa setelah pendopo (area publik dan manifestasi area maskulin), paringgitan (tempat ringgit/wayang dimainkan). Ndalem sebagai bentuk manifestasi dari area feminin, berfungsi sebagai penyelenggaraan acara kelahiran, pernikahan, dan kematian (khusus masyarakat Laweyan) yang dimaknai sebagai sacred area. Hanya pemilik, kerabat, dan tamu terhormat yang dapat mengaksesnya,” ungkapnya dalam mendefinisikan interior ndalem interior dalam penelitiannya.
Sebenarnya ia ingin meneliti lebih lima interior ndalem di kawasan Laweyan, khusus yang belum mengalami perubahan fungsi. Sayangnya, di wilayah Sondakan ia tidak mendapatkan izin untuk meneliti rumahnya. Jadi yang ia analisa hanya tiga interior ndalem. Ketiganya mewakili dua wilayah Laweyan masa awal abad ke-20, dari ketiga wilayah masa itu, yaitu Kelurahan Bumi dan Laweyan.
Ciri khas ndalem Laweyan
Rumah saudagar batik Laweyan secara umum memiliki kesamaan sebagai masyarakat dengan bentuk atap yaitu limasan, karena mereka sadar kalau mereka bukan bangsawan, sehingga tidak mungkin mereka menempatkan arsitektur joglo sebagai rumah tinggal mereka. Pola organisasi dan tata ruang masih menggunakan pola arsitektur dan interior Jawa. Pada setiap rumah memiliki style yang berbeda, sesuai karakter pemiliknya. Rumah mereka semula berkontruksi kayu, namun seiring dengan kesuksesannya dalam industri batik cap, maka arsitekturnya berubah menjadi konstruksi bearing wall/berdinding tembok batu bata. Menurut Dhian Hastuti, ciri khas interior ndalem mereka ditandai dengan adanya dua tiang besi berukir pada sisi depan dari area ndalem, tepatnya berseberangan dengan area senthong tengah/krobongan/petanen.
Dua tiang besi berukir ini sebagai bentuk bertahannya mereka dengan identitas kejawaannya, karena rumah Jawa selalu ditandai dengan empat tiang utama (saka guru), namun karena konstruksi rumah mereka menggunakan bearing wall, maka mereka menempatkan dua tiang besi berukir tersebut. Mereka masih menggunakan hitungan Jawa yaitu ukuran anggota badan kepala keluarga (nyari, hasta, depa, dan lain-lain). Prinsip hierarki ruang dalam arsitektur Jawa juga masih mereka gunakan.
Sampai saat ini, interior ndalem yang ia teliti masih dipertahankan, namun untuk beberapa rumah yang lain sudah berubah karena sejak dicitrakan sebagai kampung wisata batik, hampir sebagian besar masyarakat Laweyan berlomba-lomba merenovasi rumah untuk menjadi showroom batik. “Hal ini cukup mengkhawatirkan, karena para penerus hampir tidak memahami makna rumah bagi para leluhurnya terdahulu dan hal itu sebagai jejak sejarah penting yang mestinya tidak begitu saja direnovasi menjadi bangunan showroom berkaca. Jadi hampir tidak ada bedanya dengan pertokoan di luar Laweyan di Kota Solo,” paparnya.
Pengaruh arsitektur Belanda lebih pada sistem konstruksi bearing wall dan pada interior ndalem mereka lebih pada style interior dan materi bahan yang mereka datangkan dari Eropa untuk mendukung wujud style tersebut. Khusus tata ruang dan penempatan perabot utama di area ndalem mereka masih patuh terhadap budaya Jawa, hanya style/gaya suasana interiornya merupakan campuran Eropa, Cina dan Jawa diantaranya art nouveau dan art deco. Dan saudagar batik Laweyan saat itu sudah menggunakan jasa arsitektur, salah satunya seorang arsitek Cina,” tambahnya.
Awal abad ke-20, awal masa modern masyarakat Laweyan
Awal abad ke-20 dapat disebut sebagai awal masa modern bagi masyarakat Laweyan dan Kota Solo. Alat batik cap yang dibawa masuk oleh seorang saudagar Cina ke Kauman ternyata berkembang pesat di Laweyan. Potensi alam Laweyan yang dilalui Kali Premulung dan adanya satu bandar dari 44 bandar Bengawan Solo mendukung perkembangan batik cap. Perubahan sistem pembuatan batik dengan cap mengubah sistem pengelolaan usaha batik. Batik yang semula dikerjakan oleh para perempuan dengan batik tulis berubah menjadi batik cap yang dikerjakan kaum laki-laki.
Dari sisi waktu pengerjaannya lebih cepat dan mendatangkan penghasilan yang luar biasa. Sistem pengelolaan usaha rumahan berubah menjadi industri dengan sistem firma. Peningkatan hasil pendapatan para saudagar batik ini membawa akibat terhadap perubahan pola pikir dan sistem nilai serta sosial yang mereka yakini, sehingga menghasilkan wujud budaya yang berbeda. Budaya Jawa, budaya Eropa dan Cina merupakan tiga budaya yang mempengaruhi wujud budaya Laweyan di awal abad ke-20. Perkembangan selanjutnya perubahan budaya sungai ke budaya darat mengakibatkan sistem transportasi dan pengiriman barang dengan kereta lebih populer dibanding menggunakan kapal. Hal ini mengakibatkan perubahan tata ruang kota Solo menuju modern dengan tranportasi bermesin.
Temuan penting
Rumah bagi saudagar batik Laweyan sebagai tempat tinggal dan sekaligus tempat produksi batik. Adapun temuan terpenting dalam risetnya adalah masyarakat Laweyan menempatkan rumah, khususnya ndalem sebagai simbol identitas . Rumah sebagai bentuk perjuangan akan cita-cita mereka sebagai masyarakt termajinal, agar mendapatkan identitas/status sosial dan pengakuan yang sejajar (egaliter) dengan para bangsawan pribumi. Wujud interior ndalem hasil alkuturasi antara pengaruh Eropa, China dan Jawa. Sistem kelas tertinggi dalam kemasyarakatan tertinggi adalah penjajah kolonial Belanda dan di kalangan masyarakat pribumi adalah para bangsawan, dan Cina statusnya lebih tinggi daripada pribumi. Hasil alkuturasi tersebut berusaha menggabungkan ketiganya agar pengakuan status sosial didapatkan.
Bentuk perjuangan tersebut merupakan usaha nyata dari ajaran Mangkunegara IV dalam serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke-29 berikut.
Bonggan kang tan merlokena, mungguh ugering ngaurip, uripe lan tri prakara, wirya arta triwinasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.
Inti dari ajaran tersebut adalah untuk mencapai derajat atau status sosial, dapat melalui wirya atau jabatan, Jika jabatan tidak dimilki, status sosial dapat dicapai melalui arta atau uang dan kekayaan. Bamun jika wirya dan arta tidak dimiliki, status sosial dapat melalui winasis atau pendidikan dan pengetahuan. Jika ketiganya tidak dimiliki maka hidupnya seperti daun jati kering yang tidak berguna dan nasibnya tidak jelas.
Profesi saudagar batik yang menghasilkan kekayaan melampaui keluarga bangsawan merupakan usaha untuk mendapatkan pengakuan identitas sosial melalui arta.
Aktivitas
Selain bidang interior, Dhian Lestari Hastuti juga tertarik dengan bidang antropologi, karena keterkaitan antara keduanya sangat kuat. Untuk melihat dan memahami sebuah wujud desain akan lebih mudah ketika kita mengkaji dengan kacamata antropologi. “Apalagi jika kita lihat negeri ini sangat kaya dengan kearifan lokal yang setiap suku memiliki produk desain sebagai bagian dari kebutuhan hidup mereka. Berpijak dari kondisi tersebut maka kita akan dapat memahami makna produk desain tersebut bagi mereka,” ungkapnya.
Bagaimana pandangannya tentang eksistensi heritage di Indonesia. Menurut Dhian, heritage adalah titipan anak cucu kita, maka sebaiknya edukasi heritage harus mulai dilakukan untuk anak-anak usia dini. Dari aktivitas berkunjung, melihat, mengamati, sampai dengan mereka dapat memahaminya. Pada akhirnya mereka yang akan menggantikan kita nanti untuk mengurus negeri ini. Para pemutus kebijakan mestinya juga paham heritage, bukan malah menghancurkan dan menjualnya. Jadi para pemerhati heritage bisa sinergi dengan program pemerintah dan tidak berjalan sendirian. Selain itu, Dhian sekarang masih berproses mencari penerbit yang mau menerbitkan tesis S2-nya dalam format buku dengan gaya tulisan populer, agar bisa menjangkau beragam lapisan pembaca. Semoga sukses! (apw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar