Bermain tari bantengan bagi mereka bisa dikatakan suatu proses pendidikan informal. Kegiatan itu juga mruepakan proses belajar, menghidupkan kecerdasan emosi – melatih koordinasi gerak tubuh, membangun imajinasi, belajar bekerjasama antar-individu dan mmebaca ruang. Kehidupan otak kanan anak-anak kurang diapresiasi dalam pendidikan formal.
Ketika, saya, Danial Ahmad, Dani Iswardana Wibowo dan Abdul Malik mengunjungi peringatan seribu harinya almarhum Soetrisno, maestro pembuat topeng Malang pada 29 September 2011 lalu , di Dukuh Glagahdowo, Desa Pulungdowo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar jam 5 sore, ada sesuatu yang menarik melihat anak-anak bermain menirukan tari bantengan. Saya menyaksikan, tanpa ada orang dewasa yang melatih, anak-anak secara spontan berkumpul dan mengatur sendiri bermain tari bantengan tiap hari di sore hari.
Keceriaan mereka menirukan orang-orang dewasa menari bantengan, menjadi ruang bermain yang membahagiakan bagi anak-anak. Mereka membuang kejenuhan dari tugas-tugas sekolah formal yang bersifat hafalan. Kepala banteng yang dibuat dari kayu yang disambung dengan kain sepanjang dua meter digerakkan meliuk-liuk seperti tari barongsai. Ada anak yang meniup peluit, memukulkan pecut, dan ada yang seolah-olah kalap (trance) lalu disembuhkan oleh anak yang lain. Layaknya tari bantengan yang sesungguhnya.
Keseharian anak-anak dukuh Glagahdowo bermain tari Bantengan tiap jam 4 sore. Bermain tari bantengan bagi mereka bisa dikatakan suatu proses pendidikan informal. Kegiatan itu juga merupakan proses belajar, menghidupkan kecerdasan emosi – melatih koordinasi gerak tubuh, membangun imajinasi, belajar bekerjasama antar-individu dan membaca ruang. Kehidupan otak kanan anak-anak kurang diapresiasi dalam pendidikan formal. Mereka hanya dijejali dengan tugas-tugas sekolah dan apa yang harus mereka pelajari tiap harinya. Datang di pagi hari di sekolah, menghadap satu papan tulis. Tiap hari mereka hanya menghadap satu papan tulis dan mendengarkan ocehan gurunya yang bersifat monolog. Mereka tidak tahu bagaimana cara belajar yang baik sesuai dunianya. Banyak ahli pendidikan di Indonesia, namun sistem pendidikan formal dalam membangun kreativitas anak-anak tidak berkembang.
Tari bantengen memang akrab dengan masyarakat Glagahdowo. Di dukuh ini juga tempat para empu kesenian tari topeng Malangan, seperti mbak Gimun, mbah Rasimoen (maestro penari topeng Malang), mbah Jakimin (maestro penari topeng Malang) dan pak Soetrisno (maestro pembuat topeng Malang, ayah dari dalang muda Tri Ganjar Wicaksono). Mereka semuanya sudah almarhum.
Dari keseharan anak-anak bermain tari bantengan, berharap akan lahir penerus local genius di situs seni Malangan ini di masa depan. Dengan bermain tari bantengan mereka mengalami proses mencintai potensi local genius tempat mereka dilahirkan Sayangnya, jarang para pendidk menangkap potensi kreativitas seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar