Selasa, 31 Januari 2012

Malang, Mall, Taman Kota dan Listrik

Jika anda memasuki kawasan suatu kota. Ada berapa taman kota di kota itu? Pasti jumlahnya sedikit.  Pemandangan yang anda lihat pastilah banyak ruko-ruko, mall dan supermarket.  Ini menandakan bahwa ruang hijau untuk publik tak penting, yang penting makin banyak ruang ekonomi, makin bagus untuk parameter makmurnya suatu kota. Benarkah demikian?

Wajah tata kota dan arsitektur suatu kota punya kontribusi mendidik masyarakat menuju pertumbuhan mayarakat kota yang sehat. Ledakan penduduk dan urbanisasi terus tumbuh dan menghiasi carut marut wajah kota.  Kepentingan menuju tata kota yang sehat dan penciptaan lapangan kerja baru yang membutuhkan pembukaan lahan baru dan pembangunan ruang ekonomi menjadi suatu pertempuran yang dilematis bagi pemerintah.



Sebagai contoh Kota Malang, jika anda warga Malang yang mengalami hidup di Kota Malang sejak 1970 sampai sekarang, coba amati dan  rasakan keindahan Kota Malang – apakah makin indah atau sebaliknya? Kini di setiap sudut  kota sudah dikepung pom bensin dan ruko-ruko, mall, dan supermarket, yang banyak menyedot  energi listrik. Di malam hari wajah Kota Malang cukup indah dengan gemerlap mall. Tapi tahukah anda, menurut listrikindonesia.com, jumlah listisk yang diosedot oleh sebuah mal sebesar 40 Megawatt. Fantastis! Ada berjapa jumlah mall di Malang? Belum termasuk kota-kota lainnya di Indonesia, coba and hitung sendiri berapa beban pemborosan listrik pada mall.   

Sudah saatnya mall di masa depan menggunakan energi surya!

Cukup menarik  pendapat Pauline van Roosmalen, penulis Sejarah Tata Kota Indonesia dengan Radio Netherland Indonesia (14/10/2009), bahwa sepeninggal arsitek Belanda, yang datang di Indonesia adalah arsitek-arsitek Amerika, termasuk segelintir arsitek dari Jerman dan Austria. Tak lama kemudian berdatanganlah dosen arsitek dari dua universitas Amerika, Harvard dan Kentucky. Mereka juga bertindak sebagai konsultan. Lalu mengalir pula beasiswa dari Amerika, para mahasiswa Indonesia melanjutkan studi arsitektur di Amerika. Pada saat itulah muncul apa yang disebut Amerikanisasi dunia arsitektur dan perencanaan kota Indonesia. Kota-kota Indonesia dirancang lain sekali, standarnya adalah mobil pribadi, bangunan pencakar langit dan mesin penyejuk udara atau AC. Pergeseran rancangan tata kota ini, dari tata kota Belanda yang lebih memperhatikan iklim Indonesia ke tata kota Amerika yang cuek dengan cuaca, diamati olehnya.


Semoga kawasan taman  Jalan Ijen, Malang, karya Herman Thomas Karsten (arsritek dan ahli tata kota zaman pra-kemerdekaan Indonesia) , yang merupakan ikon Kota Malang tidak menjadi mall di masa depan. Karena saya yakin tidak akan ada kebijakan  pemerintah penciptaan taman-taman kota di Indonesia. Kalaupun ada, mungkin karena terpaksa.  Padahal taman kota, penting untuk relaksasi jiwa warga kotanya yang makin  sulit hidup dalam himpitan  ekonomi.

Kata Karsten,  kota adalah suatu organisme hidup yang terus tumbuh. Dalam rencana pengembangan kota, Karsten menganggap penting keberadaan taman-taman kota serta ruang terbuka. (apw)

------

Tulisan ini juga dimuat di www.gerbangnews.com (pada menu Catatan dari Mojoagung)
sumber foto: www.panaromio.com



.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar